“Konflik Agraria di Propinsi NTT Terus Berlangsung dari Tahun ke Tahun ?!”

 567 total views

Kupang NTT,GlobalInvestigasinews.com-Konflik agraria di Nusa Tenggara Timur (NTT) terus berlangsung dari tahun ke tahun. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, jumlah konflik agraria terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan itu terutama konflik yang bersifat vertikal, antara pemerintah dan rakyat maupun perusahan dan rakyat. Peningkatan ini berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah investasi yang masuk ke NTT dan eskalasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Read More

Direktur Eksekutif WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi dalam konferensi Pers melalui Aplikasi Zoom Meeting mengatakan, kasus yang mencuat tinggi dalam 3 tahun terakhir di ruang publik yaitu, pertama,kasus agraria di Manggarai Timur bersamaan dengan rencana beroperasi pabrik semen dan tambang batu Gamping oleh PT. Singa Merah di sana. Kedua, kasus konflik agraria dan hutan adat di Besipae, Timor Tengah Selatan bersamaan dengan rencana pemerintah propinsi untuk mengembangkan perkebunan kelor dan peternakan skala besar di tempat tersebut.

“Ketiga, kasus agraria dan tempat peribadatan Marapu di Sumba Timur yang bersamaan dengan investasi PT. MSM untuk pabrik gula dan perkebunan tebu. Konflik ini telah mengakibatkan 3 orang masyarakat adat di Umalulu dijebloskan ke penjara selama 6 bulan di tahun 2020. Yang terbaru saat ini yakni perdebatan panas antara Gubernur Viktor B Laiskodat dengan Umbu Maramba Hau di Sumba Timur mengenai tanah 500 hektar yang diklaim sudah merupakan milik pemerintah propinsi sejak 2001.,” ungkapnya dalam Konferensi Pers via Zoom Meeting pada, Kamis, (02/12/2021).

Selain itu kata Umbu Wulang sapaan akrabnya menjelaskan, beberapa konflik diatas adalah fenomena gunung es yang menjelaskan betapa buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT. Baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agraria. Sebab kata Dia, dalam catatan WALHI, kejadian konflik yang terus berulang antara gubernur dan rakyat akibat buruknya sistem tata Kelola pemerintahan di propinsi NTT.

“Dalam siaran pers kali ini, WALHI NTT menyatakan salah satu faktor utama dari konflik agraria di NTT akibat DPRD mati angin dalam menjalankan fungsi legislatifnya yang dimandatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan. Contohnya, fungsi DPRD yakni pengawasan dan penyerapan aspirasi konstituen, tindak tanduk birokrasi eksekutif dan yudikatif dalam konteks kepentingan agraria. Dalam catatan WALHI NTT, berbagai kasus agraria yang terus berulang dari tahun ke tahun di NTT ini tidak pernah diseriusi oleh DPRD di ruang ruang persidangan dan masa reses.,” jelasnya

Lebih lanjut Umbu Wulang juga menegaskan, Walhi NTT mencatat dari tahun 2018 hingga kini DPRD tidak pernah memanggil gubernur untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi tentang berbagai kasus agraria yang melibatkan gubernur di dalamnya atau menyampaikan ke publik hasil-hasil persidangan DPRD dalam konteks agraria di NTT. Kata Dia, misalnya kasus Besipae, kasus Tambang Batu Gamping Manggarai Timur hingga kasus yang terbaru di Sumba Timur ini. Oleh karena itu wajar, kalau kasus-kasus agraria di NTT yang menyita perhatian publik menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang berarti. DPRD NTT mengabaikan perannya sebagai penyuara aspirasi rakyat dan mitra yang setara dengan gubernur dalam penyelesaian konflik-konflik agraria di NTT.

“WALHI NTT selain mengecam kekerasan-kekerasan kekuasaan terhadap rakyat, kami juga menilai bahwa DPRD juga mati angin menjalankan fungsinya, melakukan pembiaran dan ikut serta melanggengkan praktek kekerasan kekuasaan di NTT.,” tegasnya

Umbu Wulang juga menyampaikan fakta-fakta temuan Walhi NTT diantaranya, peristiwa konflik agraria yang terus berlangsung di NTT adalah buah dari kegagalan kolektif dalam menjalankan sistem pemerintahan untuk memahami dan menyelesaikan persoalan agraria di NTT. Mulai dari perspektif, perencanaan hingga implementasi. Selain itu konflik agraria di NTT diakibatkan oleh lemahnya gubernur dalam melakukan konsolidasi birokrasi mulai dari protokoler hingga dinas dinas teknis dalam kepastian hukum atas tanah dan membangun komunikasi dengan rakyat.

“Konflik agraria di NTT disebabkan oleh buruknya atau tidak bergeraknya (mati angin-red) fungsi pengawasan, kebijakan dan anggaran di DPRD Propinsi NTT sebagai elemen pemerintahan sehingga yang tampak Gubernur melakukan One Person Show bukan One System Show. Selain itu peristiwa konflik yang terjadi juga diakibatkan oleh terjadinya distorsi tata kelola kelembagaan adat dalam konteks agraria di NTT.,” tambahnya

Umbu Wulang juga menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintahan dan publik di NTT melalui konferensi Pers Walhi NTT diantanya, DPRD harus bertindak proaktif untuk ikut menyelesaikan masalah masalah rakyat yang berkaitan dengan ruang penghidupannya di NTT sebagaimana mandat konstitusi dan peraturan perundangan lainnya. Karena WALHI NTT memprediksi akan meluasnya konflik agrarian kedepannya di NTT bila tidak diselesaikan secara komprehensif dan makro skala NTT bersama dengan eksekutif dan yudikatif.

Selain itu kata Umbu Wulang, mengingat reputasi Gubernur yang dikenal temperamen tinggi, WALHI menyarankan Gubernur untuk menghentikan aktivitas beliau menyelesaikan persoalan persoalan teknis agraria di tingkat tapak. Gubernur perlu untuk mengkonsolidasikan dinas dinas terkait dan teknis untuk menyelesaikan persoalan persoalan teknis dan substansi di tingkat tapak pembangunan sebagaimana tupoksi yang berlaku.

“Pemerintahan menghentikan praktek-praktek para mafia dan makelar tanah yang bertindak di luar koridor hukum dan kepantasan etika atau pranata masyarakat adat di NTT. Dalam jangka pendek menyelesaikan kasus kasus agraria yang cenderung menguap di NTT dalam 3 tahun terakhir. Seperti kasus Besipae, Tambang Batu Gamping Manggarai Timur hingga Konflik Agraria masyarakat adat dengan PT. MSM di Sumba Timur.,” tuturnya

Umbu Wulang juga menegaskan, NTT sebagai Propinsi Kepulauan dengan heterogenitas adat istidat yang banyak, maka pemerintah membentuk Kelompok Kerja Agraria dan Wilayah Kelola Rakyat di NTT untuk melakukan audit agraria, evaluasi menyeluruh serta memberikan rekomendasi-rekomendasi dalam konteks kearifan adat lokal, reforma agraria dan kepastian hukum agraria di NTT. Termasuk untuk pencegahan serta penyelesaian konflik agraria di NTT. Pemerintah propinsi melakukan konsolidasi dengan seluruh kabupaten kota untuk memastikan kepastian hukum perlindungan masyarakat adat, pranata hingga ruang penghidupannya.

“Pemerintahan propinsi harus memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan sebelum melakukan pembangunan atau mengundang investor. Serta menjamin kepastian hukum wilayah kelola rakyat di NTT serta berupaya mempersempit ketimpangan agraria di NTT. Meminta masyarakat adat untuk melakukan konsolidasi dan revitalisasi kelembagaan masyarakat adat untuk kembali ke khitahnya sebagai komponen utama dalam distribusi tanah ulayat yang berkeadilan bagi masyarakat adat sebagai wilayah kelolanya. Misalnya mengembalikan makna tanah ulayat sebagai kepemilikan bersama/komunal (dalam konteks Sumba yaitu Kabihu-Red) bukan kepemilikan individual atau tokoh tertentu.,” jelasnya

Umbu Wulang juga meminta publik di NTT untuk mengawal, mengontrol dan mengawasi kinerja pemerintahan dalam penyelesaian masalah masalah agraria dan lingkungan hidup di NTT karena NTT merupakan ruang penghidupan kita bersama. Sebab kata Dia, berbagai konflik agraria yang terjadi di NTT harus menjadi refleksi dan evaluasi bersama di tingkat pemerintahan dan menjadikannya momentum konsolidasi keadilan ekologis, reforma agraria sejati, pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat, peka bencana, keadilan antar generasi dapat terwujud di Nusa Tenggara Timur tercinta ini.

“NTT, rumah kita bersama dan kita wariskan untuk anak cucu kita. Jangan biarkan rumah kita dijejali berbagai jenis bencana karena kelalaian kita sendiri. Jangan sampai gubernur angin anginan, DPRD Mati Angin dan kita rakyat makan angin dalam konteks agrarian.,” pungkasnya
“Penulis :Umbu Sorung”

Global

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *