Mantan Aktivis PRD “Kecam” Politisi yang Lupa Sejarah ?!

 128 total views

SIARAN PERS

Read More

Mantan Aktivis PRD Kecam Politisi yang Lupa Sejarah

Jakarta, 27 Juli 2023-Puluhan mantan aktivis Partat Rakyat Demokratik (PRO) yang tergabung dalam Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Korban Penghilangan Paksa mengingatkan kasus penyelesaian HAM masa lalu. Mereka mengecam para politisi yang lupa sejarah

Tuntutan penuntasan kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM berat masa lalu dinyatakan bertepatan dengan peringatan peristiwa 27 Jun 1996 atau yang dikenal dengan “Kuda Tuli”.

“Ini adalah upaya kami melawan lupa. Di tahun politik, kami tidak ingin orang melupakan kasus orang hilang dan semua pelanggaran HAM masa lalu hanya karena kepentingan kepentingan politik pragmatis jangka pendek Semua pelaku kejahatan HAM seharusnya tidak dipilih dan didukung untuk duduk dalam legislatif atau eksekutif, karena akan mencideral reformasi dan keluarga korban,” ungkap Sekjen PRD periode 1996-2002 Petrus H. Hariyanto dalam konferensi pers yang digelar di kantor YLBHI, Kamis 27 Jul 2023 Petrus juga menyatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu menjadi syarat

pembangunan persatuan bangsa. “Tanpa penyelesaian kasus Ham masa lalu, maka tidak ada persatuan

Yg substansial. Karena itu, nasionalisme yang kami majukan adalah nasionalisme kemanusiaan seperti

yg dinarasikan oleh Sukarno,” ungkap Petrus.

Di kantor YLBHI ini pula, 27 tahun lalu, pada 22 Juli 1996 Petrus mendeklarasikan berdirinya PRD bersama Budiman Sudjatmiko dan sejumlah kader PRD lainnya.

Pasca deklarasi PRD dan setelah meledaknya peristiwa 27 Juli 1996, para aktivis PRD-termasuk para anggota dari organisasi di bawahnya (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia/PPBI, Serikat Tam Nasional/STN, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi/SMID, dan Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat/Jaker), serta sejumlah aktivis demokratik lainnya, menjadi buronan politik. Beberapa aktivi

dipenjara, dan sebagian lainnya kemudian hilang pada era 1997/1998. Para aktivis yang hilang is

sebagian kembali, satu orang ditemukan meninggal, dan sebagian belum kembali hingga hari ini

“Masa lalu kami yang direpresi dan dituduh komunis pasca 27 juli 1996 adalah fakta sejarah, bukan t Masa lalu yang penuh darah, air mata dan pengorbanan ini yang harus diingat Jangan diabai apalagi dilupakan. Para mantan aktivis yang jadi figur di berbagai partai politik saat ini lahir pengorbanan kawan-kawannya Seharusnya mereka tidak lupa itu,” ungkap Lilik Hastuti, mantan a SMID yang juga pengurus KPP PRD 1999.

Menurut catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), ada 13 orang yang belum w hingga hari ini. Empat diantaranya adalah para aktivis PRD, yakni Wiji Thukul, Bima Petrus, Hendrawan, dan Suyat. Sementara Gilang ditemukan meninggal di Hutan di Magetan pada 23 M Dalam sejumlah kesempatan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan IKOHI

pemerintah masih mengabaikan hak-hak keluarga korban penghilangan paksa. Hal ini terutam

dengan kejelasan nasib anggota keluarga yang hilang.

Pada Oktober 2009, DPR telah membuat empat rekomendasi untuk Presiden RI terkait pens kasus penghilangan paksa 1997-1998. Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden Ri serta institusi pemerintah dan pihak te mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah mereha memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, mereka pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen d untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Perkembangan terkini, kasus penghilangan paksa 1997/1998 telah mendapatkan p Presiden Republik Indonesia pada 11 Januari 2023. Hal itu didasari atas rekomendasi Tim nonyudisial pelanggaran HAM berat (PPHAM) atas kebijakan presiden melalui Keppres

Namun demikian, perjuangan keluarga korban masih panjang untuk mendapatkan hak-haknya sesua dengan rekomendasi DPR RI 2009 tersebut.

Menurut Sekjen IXOHI Zaenal Muttaqin, para keluarga korban orang bilang dan korban pelanggaran HAM lainya meskipun menerima reparasi, tapi tetap menuntut penyelesian yudisial oleh negara. “Jadi tidak benar keluarga korban HAM tidak menghendaki penyelesian yudisial Dan penyelesaian yudinal akan sulit dilakukan bila negeri ini akan dipimpin oleh pelaku kejahatan HAM masa lalu,” ungkapnya

pada kesempatan sama

FRD Pro Korban Penghilangan Paksa berharap bahwa tahun politik dan keriuhan jelang Pemilu 2024 tidak membuat publik kemudian melupakan desakan atas tindak lanjut rekomendasini

Bom Waktu

Wilson, pengurus PPBI periode 1994-1996, dalam jumpa pers tersebut mengatakan, setelah 25 tahun reformasi, proses pemilu masih saja dimanfaatkan oleh oligarki politik warisan Rezim Orde Baru dan pelanggar HAM untuk berkuasa kembali Merujuk pada sejumlah riset, la mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia telah dibajak dan mengalami regresi

Penampakan regresi demokrasi terlihat jelas ketika DPR dan Presiden kompak memangkas wewenang KPK dan penggunaan UU ITE yang meneror kebebasan berpendapat

“Salah satu indikator pembajakan dan regresi demokrasi adalah keberadaan orang-orang yang pernah

terlibat kejahatan HAM masa lalu dalam proses politik formal hari ini. Regresi tersebut semakin

diakselerasi jelang Pemilu 2024 oleh mantan aktivis reformasi yang mendukung pelaku pelanggaran

HAM,” ungkapnya.

Menurut Wilson, para pelaku pelanggaram HAM setelah 25 tahun reformasi masih menikmati

impunitas “Proses politik yang melibatkan pelaku kejahatan HAM ini telah menciderai keadilan para korban pelanggaran HAM,” ujarnya Sementara Petrus menekankan bahwa masa depan Indonesia yang lebih baik bisa terwujud dengan

lebih mudah jika kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan “Proses politik yang tidak

menyelesaikan persoalan masa lalu, akan menjadi bom waktu bagi persatuan bangsa di hari ini dan

masa depan,” ungkapnya.

Dalam kesempatan terpisah, I Gusti Anom Astika, pengurus PRD periode 1996-2001 menekankan bahwa berpolitik atau menjadi politisi adalah hak warga negara yang sama nilainya dengan hak memilih dan dipilih. Tetapi untuk itu, diperlukan etika ataupun orientasi yang bisa menjadi sandaran publik “Dalam hal ini, kemanusiaan lah yang kami perjuangkan. Karenanya menjadi politisi bukan lah permakluman bahwa la boleh melakukan segala hal atas nama tujuan politik,” katanya

Selain menggelar konferensi pers di kantor YLBHI, puluhan mantan aktivis PRD tersebut juga menggelar acara tabur bunga, guna mengingat peristiwa serangan terhadap kebebasan berpolitik dan berekspresi yang terjadi 27 tahun lalu, dan sebagai penghormatan terhadap para aktivis pro demokrasi yang belum kembali hingga hari ini.
(Jay)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *